KESALAHAN DALAM MENERAPKAN PSAK 59 PADA
BANK SYARIAH
Oleh : Zakaria Batu Bara, MA
Dalam pasal 15 dari PSAK 59 itu disebutkan, untuk mencapai
tujuannya, laporan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh
transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada
saat kas atau secara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam
catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode
bersangkutan. Jadi konsekuensinya, seolah-olah ada pendapatan besar.
Pada hal, bila dalam beberapa bulan kemudian pendapatan itu tidak jadi
diterima, maka pendapatan itu justru akan dijadikan sebagai faktor
pengurang.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bank
syariah umumnya masih menerapkan sistem akrual khususnya untuk beban
yang diungkapkan dalam laporan laba rugi, sedang untuk pendapatan harus
dilakukan secara hati-hati tergantung dari opini dewan syariah setempat
apakah menggunakan dasar kas atau akrual. Penggunaan dasar kas mengacu
pada prinsip kehati-hatian yang berlandaskan ajaran Islam yang
mengatakan bahwa “…tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti
apa yang diusahakannya esok hari…” (an-Nuur: 34) sehingga tidak
seharusnya mengakui pendapatan sebelum nyata-nyata berbentuk aliran kas
yang secara riil masuk ke bank.
Pada standar akuntansi
bank syariah seperti untuk tagihan murabahah keuntungan diakui pada saat
akad ditandatangani jika masa kredit tidak melewati satu periode
laporan keuangan sedang bila masa kredit melewati satu periode laporan
keuangan baik dalam bentuk lumpsum maupun instalment maka pengakuan
pendapatan harus proporsional secara akrual kecuali dewan pengawas
syariah menetapkan secara kas atau ketika angsuran/cicilan diterima.
Menurut A. Riawan Amin, Direktur Utama Bank Muamalat
Indonesia. Bank Muamalat akan mengalami kerugian apabila ia dipaksa
untuk mengikuti PSAK 59, khususnya harus mencatat pengakuan pendapatan
laporan keuangan dengan dasar akrual, mengapa? Karena akan sulit
dilakukan pencatatan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah
mengingat pendapatan yang diperoleh tidak dapat dipastikan besarnya. Hal
ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan perbankan yang menggunakan
sistem bunga yang telah ditetapkan secara pasti di depan sesuai dengan
interest rate yang berlaku.
Konsekuensi berikutnya adalah
pendapatan margin dan bagi hasil akan menjadi lebih besar dibandingkan
dengan pendapatan sebenarnya, yang pada akhirnya akan memberikan
performance neraca yang terkesan lebih baik, tetapi bukan figure yang
sesungguhnya. Ini menjadikan tidak transparan dalam pelaporan.
Akibatnya, akan timbul pertanyaan dari nasabah pemilik dana simpanan
mudharabah, karena pendapatan dalam laporan keuangan sementara bagi
hasil yang dibagikan lebih kecil.
Konsekuensi lain adalah
bank syariah akan menanggung pajak yang sudah harus dibayarkan,
sementara penerimaan tersebut belum pasti menjadi milik bank. Sementara
itu, pembayaran zakat tidak bisa berdasar laba, tetapi harus dibuat
terlebih dahulu laba berdasarkan cash basis, yang akan menimbulkan
kerancuan bagi pihak lain calon mustahik.
Menurut Mukayan
metode accrual basis diterapkan untuk pengakuan pendapatan atas aktiva
produktif (AP) yang performing, yaitu AP yang mempunyai kualitas lancar
dan dalam perhatian khusus. Sedangkan untuk AP non performing, yaitu AP
dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet diterapkan metode
cash basis. Penerapan metode accrual basis dalam pengakuan pendapatan
atas AP yang performing akan mengakibatkan timbulnya perbedaan jumlah
pendapatan yang tercantum dalam financial reporting, dalam hal ini
adalah Laporan Laba Rugi dengan pendapatan yang tercantum dalam Laporan
Bagi Hasil (LBH). Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam LBH
yang dimaksud dengan pendapatan adalah pendapatan yang benar-benar
secara cash telah diterima bank. Sedangkan pendapatan yang tercantum
dalam Laporan Laba Rugi mencakup baik pendapatan secara cash telah
diterima oleh bank, maupun pendapatan yang timbul karena adanya proses
accrual.
Menurut penulis memaksakan PSAK 59 bagi bank
syariah menambah kompleksitas bagi bank tersebut karena harus melakukan
pembukuan ganda dalam pengakuan pendapatan, satu untuk pengakuan
pendapatan dalam laporan keuangan dan satu lagi pendapatan untuk dasar
perhitungan bagi hasil. Bank syariah juga harus membuat Pembukuan yang
Akan Diterima (PAD) secara khusus. Dan tentu saja harus mengubah
aplikasi komputernya berkaitan dengan pembiayaan dan pendapatan, dari
transparan menjadi lebih tidak transparan.
Dari uraian di
atas menunjukkan bahwa meskipun belum semua hal dapat terungkap tetapi
sedikitnya memberikan gambaran bahwa perlu suatu paradigma baru dalam
merancang aplikasi akuntansi untuk bank syariah sesuai dengan standar
yang telah ada.
Standar akuntansi tersebut menjadi kunci sukses bank
Islam dalam melayani masyarakat di sekitarnya sehingga, seperti
lazimnya, harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya,
dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah
Islam. Penyajian informasi semacam itu penting bagi proses pembuatan
keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan bank Islam.
Lebih dari itu, akan memiliki dampak positif terhadap distribusi
sumber-sumber ekonorni untuk kepentingan masyarakat. Hal ini karena
prinsip-prinsip syariah Islam memberikan keseimbangan antara kepentingan
individu dan masyarakat.
Penulis adalah Dosen Akuntansi Syariah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Syariah Bengkalis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar