Selasa, 13 September 2016

BENTUK LAPORAN KEUANGAN SYARIAH PADA PERUSAHAAN
Oleh : Zakaria Batu Bara, MA

Setelah kita mengetahui keterbatasan akuntansi konvensional dalam merespon berbagai kebutuhan masyarakat yang bersifat multi-dimensi. Beberapa konsep baru telah diajukan antara lain Akuntansi Sumber Daya Manusia, Pelaporan Kepegawaian, dan Akuntansi Sosial Ekonomi (ASE). Namun demikian model-model tersebut masih berbasis pada kerangka berpikir konvensional yaitu kapitalis . Akuntansi Islam (atau Akuntansi Syariah) selanjutnya muncul untuk menjawab berbagai kelemahan kerangka berpikir kapitalis dengan memasukkan nilai-nilai Islami atau world-view tauhid. Akuntansi Islam memiliki banyak kesamaan dengan ASE, tetapi memiliki nilai lebih ditinjau dari keterkaitan eratnya dengan nilai-nilai ketuhanan, dalam hal ini nilai-nilai syariah Islam.
Dengan demikian Akuntansi Islam menjadi suatu kebutuhan bagi institusi bisnis syariah yang bertujuan mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang sesuai ajaran Islam dan menjadikannya sebagai suatu kegiatan yang berdimensi ibadah. Hamed (2003) menyatakan bahwa jika institusi Islami menggunakan akuntansi konvensional yang berbasis nilai sekuler kapitalistik maka akan timbul ketidaksesuaian antara praktek dan tujuan pencapaian sosial ekonomi syariah
Aplikasi akuntansi yang sejalan dengan prinsip syariah dan menjadi sarana aktivitas ibadah didasari oleh prinsip pokok ajaran Islam yang memandang bahwa seluruh aktivitas hidup hendaknya merupakan suatu ibadah (QS 6 :162 ; 51 :121). Dengan demikian pengembangan konsep dan penerapan akuntansi Islam adalah suatu kemestian dan kebutuhan kunci bagi kehidupan muslim yang paripurna. Relevansinya makin tinggi untuk negara dimana masyarakat muslim merupakan mayoritas. Lebih jauh, konsep ajaran Islam dimaksudkan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh alam (QS 21 :127)
Menurut Haniffa (2002) dalam Harahap (2003), akuntansi Islam menghasilkan informasi sejauh mana entitas usaha mematuhi syariah dan memberi maslahat bagi masyarakat, memperhatikan aspek material, moral, dan spiritual serta menekankan keseimbangan diantara hal-hal tersebut, berdasarkan nilai-nilai Islam yang bersumber pada Al Quran dan Hadits Nabi yang shohih. Lebih lanjut Haniffa menyebutkan tiga dimensi (tujuan) yang perlu dihasilkan dari akuntansi Islam yaitu sejauh mana upaya entitas dalam: mencari ridha Allah, memberikan keuntungan (maslahat) bagi masyarakat, dan mencari kekayaan guna memenuhi kebutuhan. Ketiga hal ini tidak lain adalah perwujudan ibadah dalam Islam.
Harahap (2001) juga menyebutkan bahwa Akuntansi Islam bertujuan merealisasikan tujuan syariat, yaitu dengan menghasilkan informasi sekaligus pertanggungjawaban untuk merealisasikan tujuan syariat. Konsep yang sesuai tujuan maslahat dan pertanggungjawaban sosial tersebut adalah enterprise theory. Teori ini menjelaskan bahwa akuntansi harus melayani bukan saja pemilik perusahaan tetapi juga masyarakat umum.
Harahap (2008) selanjutnya merumuskan cakupan laporan AI yang bersifat triple bottom line yang mencakup (1) aspek kepatuhan pada syariat, (2) nilai kemaslahatan lingkungan social dan (3) aspek keuangan. Jika diperbandingkan, ketiga aspek ini bersesuaian dengan ketiga dimensi yang dikemukakan Haniffa di atas.
Harahap (2001) mengemukakan pemikiran Baydoun dan Willet (2000) mengenai bentuk laporan keuangan perusahaan menurut Akuntansi Islam. Bentuk laporan adalah Laporan Nilai Tambah sebagai ganti Laporan Rugi Laba konvensional. Laporan Nilai Tambah mengandung prinsip pertanggung-jawaban social. Laporan memberikan informasi diperolehnya laba bersih berupa nilai tambah dan bagaimana laba itu didistribusikan secara adil kepada pihak-pihak penyumbang terciptanya nilai tambah.Berikut adalah komponen laporan nilai tambah adalah sebagai berikut:
1. Neraca yang juga memuat informasi tentang karyawan dan akuntansi SDM,
2. Laporan Nilai Tambah sebagai pengganti Laporan R&L.
3. Laporan Arus Kas.
4. Laporan pertanggungjawaban social
5. Catatan yang berisi:
  • Pengungkapan secara lebih luas tentang laporan keuangan yang disajikan,
  • Laporan berbagai nilai dan kegiatan yang tidak sesuai syariat Islam, yang dapat dilengkapi dengan pernyataan dari Dewan Pengawas Syariah, dan
  • Informasi tentang efisiensi, good governance dan laporan produktivitas.
Haniffa (2001) dalam Harahap (2003) memerinci informasi yang dibutuhkan bagi akuntabilitas sebagai berikut:

1. Amanah : memproduksi barang dan jasa yang halal sesuai ketentuan Allah;
2. Memenuhi kewajiban kepada Allah dan manusia;
3. Mendapatkan laba sesuai syariah;
4. Mencapai tujuan perusahaan;
5. Adil kepada karyawan dan masyarakat;
6. Meyakinkan bahwa kegiatan perusahaan tidak merusak lingkungan;
7. Menganggap tugas berdimensi ibadah.

Sedangkan dalam konteks transparansi diperlukan informasi mengenai:

1. kegiatan yang halal dan haram;
2. kebijakan keuangan dan investasi;
3. Kebijakan kepegawaian;
4. hubungan perusahaan dan masyarakat
5. sumber dan perlindungan (konservasi) alam.

Penulis adalah Dosen STIE Syariah Bengkalis, Riau

Tidak ada komentar:

Posting Komentar