Kamis, 22 September 2016

Akuntansi Syariah

AGAR DONGENG KEBANGKRUTAN TAK BERLANJUT
Oleh : Zakaria Batu Bara, MA

"Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu berpiutang dengan suatu piutang, hingga masa yang ditetapkan, hendaklah kamu tuliskan; dan hendaklah seorang penulis diantaramu menuliskannya dengan keadilan. Janganlah enggan penulis itu menuliskannya, sebagaimana Allah telah mengajarkan kepadanya, sebab itu hendaklah ia menuliskan; dan hendaklah membacakan orang yang berutang (akan utangnya kepada penulis) dan hendaklah ia takut kepada Allah, dan janganlah dikurangkan hak orang sedikitpun... ''
Al-Qur'an Surat Al-Baqarah (QS [2]: 282)

Penyebab dari krisis global yang berasal dari kebangkrutan Lehman Brothers pada bulan September tahun lalu (di akhir tahun 2008). Dan disusul perusahaan-perusahaan di Amerika lainnya mengalami kerugian derivatif yang besar, sehingga berdampak terhadap kinerja saham di kwartal ke IV tahun 2008. Termasuk di Indonesia tertekan juga karena Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga turun luar biasa.

Tumbangnya raksasa ini bak sengatan ‘mematikan’ bagi perekonomian Amerika, kapitalisasi mereka yang begitu besar dan iming-iming laba yang terus mereka cetak, sehingga magnet penyedot perhatian pebisnis top diseantaro dunia untuk berebut membeli sahamnya.

Tapi apa hendak dikata, akal-akalan mereka dengan memalsukan laporan akuntansi telah membuat perusahaan itu sangat rapuh, keuntungan miliaran dolar yang mejeng dalam laporan keuangannya tak lebih dari sebuah bualan yang dirangkai oleh akuntan-akuntan yang tak bertanggungjawab.
Sekedar contoh dari sebuah peradaban yang menempatkan ilmu akuntansi menghamba kepada kepentingan pemilik modal (stockholder). Di sini, kisi dan ruang akuntansi sebagai media transparansi dan pertanggungjawaban dipelintir untuk satu alasan : menguntungkan bagi pemilik modal.

Sekali dua, cara-cara itu memang mengail untung. Namun sangat picik, mengira publik sebagai keranjang sampah yang hanya bisa menerima tanpa mampu mengukur kebenaran yang disampaikan melalui laporan keuangan itu. Dan, sekali terbongkar reputasi yang bertahun-tahun mereka bangun hancur berantakan. Realitas menyulap laporan keuangan yang banyak terjadi dalam paradigma kapitalis.

Ternyata terdapat keterbatasan dari laporan keuangan konvensional, berbagai sifat yang ada di dalamnya memberikan kontribusi terhadap keterbatasan atau kelemahan informasi laporan keuangan. Misalnya prinsip historical cost, menyebabkan informasi yang disajikannya tidak relevan pada masa inflasi. Berbagai kelemahan akuntansi konvensional ini telah diiihat oleh berbagai pihak. Beberapa isu yang sangat ditentang adalah :
1) Metode penilaian historical cost yang dianggap tidak memberikan informasi relevan bagi investor apalagi pada masa inflasi.
2) Sistem alokasi yang dinilai subjektif dan arbitrer sehingga bisa menimbulkan penyalahgunaan akuntansi untuk melakukan penipuan untuk kepentingan pihak tertentu yang dapat merugikan pihak lain.
3) Prinsip konservatisme yang dianggap menguntungkan pemegang saham dan merugikan pihak lain.
4) Perbedaan standard dan perlakuan untuk mencatat dan memperlakukan transaksi atau pos yang berbeda. Misalnya penilaian pada surat berharga, persediaan, tidak konsisten dengan aktiva tetap.
 Yang pertama dapat menggunakan lower of cost market, sedangkan yang terakhir menggunakan cost. Bahkan ada yang boleh menggunakan market.
5) Demikian juga perbedaan dalam pengakuan pendapatan. Ada yang menggunakan “accrual basis” ada “cash basis”.
6) Ada perbedan dalam pengakuan pendapatan atau biaya. Misalnya dalam hal pengakuan pendapatan apakah pada saat barang selesai di produksi, pada saat di jual, atau pada saat dilakukan penagihan. Perlakuannya tidak konsisten untuk semua jenis pos dan transaksi.

Selama ini akuntansi konvensional hanya melihat aktiva berwujud dari suatu perusahaan. Namun saat ini perusahaan tidak hanya memiliki aktiva berwujud lagi, tetapi memiliki aktiva "intangible asset " tidak berwujud seperti paten, goodwill, lisensi, hak cipta, internet, website, Software dan sebagainya. Sifat-sifat dari aktiva non fisik ini sangat berbeda dari aktiva yang selama ini menjadi andalan akuntansi keuangan uniuk dicatat, diukur, dilaporkan dan dianalisa.

Disinilah bedanya sistem akuntansi kapitalis dan Islam. Akuntansi Islam bukan saja untuk melayani kepentingan stockholder, tapi juga semua pihak yang terlibat. Karena itu Akuntansi Islam bukan melulu bicara angka. Sebaliknya, domain akuntansi juga mengukur prilaku (behavior). Konsekuensinya, Akuntansi Islam menjadi mizan (timbangan) dalam penegakan ketertiban perdagangan, pembagian yang adil, pelarangan penipuan mutu, timbangan, bahkan termasuk mengawasi agar tidak terjadi benturan kepentingan antara perusahaan yang bisa merugikan kalangan lain.

Kalau rambu-rambu dasar seperti ini yang diterapkan, yakni tragedi Lehman Brothers tak terjadi. Itu lantaran akuntansi tak lagi menghamba kepada kepentingan pemilik modal, tapi lebih dari itu inheren dengan penegakan keadilan dan kebenaran.

Fenomena kegagalan akuntansi konvensional dalam memenuhi tuntunan masyarakat akan informasi keuangan yang benar, jujur dan adil, meningkatkan kesadaran dikalangan intelektual muslim akan perlunya pengetahuan akuntansi yang Islami yang berdasarkan pada prinsip kebenaran, keadilan, dan transparansi sangat mendesak untuk dilakukan.

Ternyata Islam melalui Alquran telah menggariskan bahwa konsep akuntansi yang harus diikuti oleh para pelaku transaksi dan pembuat laporan keuangan adalah menekankan pada konsep pertanggungjawaban atau accountability, sebagaimana ditegaskan dalam surat al-Baqarah ayat 282.

Menurut Sofyan S. Harahap dalam buku Akuntansi Islam mengatakan bahwa ; Munculnya Akuntansi Islam ini didorong oleh berbagai hal seperti :
l . Meningkatnya religiousity masyarakat.
2. Meningkatnya tuntunan kepada etika dan tanggung jawab sosial yang selama ini tampak diabaikan oleh akuntansi konvensional.
3. Semakin lambannya akuntansi konvensional mengantisifasi tuntunan masyarakat khususnya mengenai penekanan pada keadilan, kebenaran, dan kejujuran.
4. Kebangkitan umat Islam khususnya kaum terpelajar yang merasakan kekurangan yang terdapat dalam kapitalisme Barat.
5. Perkembangan atau anatomi disiplin akuntansi itu sendiri.
6. Kebutuhan akan sistem akuntansi dalam lembaga bisnis syariah seperti bank, asuransi, pasar modal, trading, dan lain-lain.
7. Kebutuhan yang semakin besar pada norma perhitungan zakat dengan menggunakan norma akuntansi yang sudah mapan sebagai dasar perhitungan.
8. Kebutuhan akan pencatatan, pertanggungjawaban, dan pengawasan harta umat misalnya dalam Baitul Maal atau kekayaan milik umat Islam atau organisasinya.

Mempelajari dan menerapkan akuntansi syariah, pada hakekatnya adalah belajar dan menerapkan prinsip syariah (yang sesuai dengan ketentuan hukum Islam), yaitu memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.

Penulis adalah Dosen Akuntansi Syari’ah STIE Syariah Bengkalis

Selasa, 20 September 2016

KESALAHAN DALAM MENERAPKAN PSAK 59 PADA
BANK SYARIAH
Oleh : Zakaria Batu Bara, MA




Dalam pasal 15 dari PSAK 59 itu disebutkan, untuk mencapai tujuannya, laporan disusun atas dasar akrual. Dengan dasar ini, pengaruh transaksi dan peristiwa lain diakui pada saat kejadian (dan bukan pada saat kas atau secara kas diterima atau dibayar) dan diungkapkan dalam catatan akuntansi serta dilaporkan dalam laporan keuangan pada periode bersangkutan. Jadi konsekuensinya, seolah-olah ada pendapatan besar. Pada hal, bila dalam beberapa bulan kemudian pendapatan itu tidak jadi diterima, maka pendapatan itu justru akan dijadikan sebagai faktor pengurang.
Seperti yang telah dijelaskan di atas, bank syariah umumnya masih menerapkan sistem akrual khususnya untuk beban yang diungkapkan dalam laporan laba rugi, sedang untuk pendapatan harus dilakukan secara hati-hati tergantung dari opini dewan syariah setempat apakah menggunakan dasar kas atau akrual. Penggunaan dasar kas mengacu pada prinsip kehati-hatian yang berlandaskan ajaran Islam yang mengatakan bahwa “…tiada seorang pun yang dapat mengetahui dengan pasti apa yang diusahakannya esok hari…” (an-Nuur: 34) sehingga tidak seharusnya mengakui pendapatan sebelum nyata-nyata berbentuk aliran kas yang secara riil masuk ke bank.
Pada standar akuntansi bank syariah seperti untuk tagihan murabahah keuntungan diakui pada saat akad ditandatangani jika masa kredit tidak melewati satu periode laporan keuangan sedang bila masa kredit melewati satu periode laporan keuangan baik dalam bentuk lumpsum maupun instalment maka pengakuan pendapatan harus proporsional secara akrual kecuali dewan pengawas syariah menetapkan secara kas atau ketika angsuran/cicilan diterima.
Menurut A. Riawan Amin, Direktur Utama Bank Muamalat Indonesia. Bank Muamalat akan mengalami kerugian apabila ia dipaksa untuk mengikuti PSAK 59, khususnya harus mencatat pengakuan pendapatan laporan keuangan dengan dasar akrual, mengapa? Karena akan sulit dilakukan pencatatan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah mengingat pendapatan yang diperoleh tidak dapat dipastikan besarnya. Hal ini sama sekali tidak dapat disamakan dengan perbankan yang menggunakan sistem bunga yang telah ditetapkan secara pasti di depan sesuai dengan interest rate yang berlaku.
Konsekuensi berikutnya adalah pendapatan margin dan bagi hasil akan menjadi lebih besar dibandingkan dengan pendapatan sebenarnya, yang pada akhirnya akan memberikan performance neraca yang terkesan lebih baik, tetapi bukan figure yang sesungguhnya. Ini menjadikan tidak transparan dalam pelaporan. Akibatnya, akan timbul pertanyaan dari nasabah pemilik dana simpanan mudharabah, karena pendapatan dalam laporan keuangan sementara bagi hasil yang dibagikan lebih kecil.
Konsekuensi lain adalah bank syariah akan menanggung pajak yang sudah harus dibayarkan, sementara penerimaan tersebut belum pasti menjadi milik bank. Sementara itu, pembayaran zakat tidak bisa berdasar laba, tetapi harus dibuat terlebih dahulu laba berdasarkan cash basis, yang akan menimbulkan kerancuan bagi pihak lain calon mustahik.
Menurut Mukayan metode accrual basis diterapkan untuk pengakuan pendapatan atas aktiva produktif (AP) yang performing, yaitu AP yang mempunyai kualitas lancar dan dalam perhatian khusus. Sedangkan untuk AP non performing, yaitu AP dengan kualitas kurang lancar, diragukan, dan macet diterapkan metode cash basis. Penerapan metode accrual basis dalam pengakuan pendapatan atas AP yang performing akan mengakibatkan timbulnya perbedaan jumlah pendapatan yang tercantum dalam financial reporting, dalam hal ini adalah Laporan Laba Rugi dengan pendapatan yang tercantum dalam Laporan Bagi Hasil (LBH). Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa dalam LBH yang dimaksud dengan pendapatan adalah pendapatan yang benar-benar secara cash telah diterima bank. Sedangkan pendapatan yang tercantum dalam Laporan Laba Rugi mencakup baik pendapatan secara cash telah diterima oleh bank, maupun pendapatan yang timbul karena adanya proses accrual.
Menurut penulis memaksakan PSAK 59 bagi bank syariah menambah kompleksitas bagi bank tersebut karena harus melakukan pembukuan ganda dalam pengakuan pendapatan, satu untuk pengakuan pendapatan dalam laporan keuangan dan satu lagi pendapatan untuk dasar perhitungan bagi hasil. Bank syariah juga harus membuat Pembukuan yang Akan Diterima (PAD) secara khusus. Dan tentu saja harus mengubah aplikasi komputernya berkaitan dengan pembiayaan dan pendapatan, dari transparan menjadi lebih tidak transparan.
Dari uraian di atas menunjukkan bahwa meskipun belum semua hal dapat terungkap tetapi sedikitnya memberikan gambaran bahwa perlu suatu paradigma baru dalam merancang aplikasi akuntansi untuk bank syariah sesuai dengan standar yang telah ada.
Standar akuntansi tersebut menjadi kunci sukses bank Islam dalam melayani masyarakat di sekitarnya sehingga, seperti lazimnya, harus dapat menyajikan informasi yang cukup, dapat dipercaya, dan relevan bagi para penggunanya, namun tetap dalam konteks syariah Islam. Penyajian informasi semacam itu penting bagi proses pembuatan keputusan ekonomi oleh pihak-pihak yang berhubungan dengan bank Islam. Lebih dari itu, akan memiliki dampak positif terhadap distribusi sumber-sumber ekonorni untuk kepentingan masyarakat. Hal ini karena prinsip-prinsip syariah Islam memberikan keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat.
Penulis adalah Dosen Akuntansi Syariah Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi (STIE) Syariah Bengkalis.

Selasa, 13 September 2016

BENTUK LAPORAN KEUANGAN SYARIAH PADA PERUSAHAAN
Oleh : Zakaria Batu Bara, MA

Setelah kita mengetahui keterbatasan akuntansi konvensional dalam merespon berbagai kebutuhan masyarakat yang bersifat multi-dimensi. Beberapa konsep baru telah diajukan antara lain Akuntansi Sumber Daya Manusia, Pelaporan Kepegawaian, dan Akuntansi Sosial Ekonomi (ASE). Namun demikian model-model tersebut masih berbasis pada kerangka berpikir konvensional yaitu kapitalis . Akuntansi Islam (atau Akuntansi Syariah) selanjutnya muncul untuk menjawab berbagai kelemahan kerangka berpikir kapitalis dengan memasukkan nilai-nilai Islami atau world-view tauhid. Akuntansi Islam memiliki banyak kesamaan dengan ASE, tetapi memiliki nilai lebih ditinjau dari keterkaitan eratnya dengan nilai-nilai ketuhanan, dalam hal ini nilai-nilai syariah Islam.
Dengan demikian Akuntansi Islam menjadi suatu kebutuhan bagi institusi bisnis syariah yang bertujuan mendapatkan keuntungan dengan cara-cara yang sesuai ajaran Islam dan menjadikannya sebagai suatu kegiatan yang berdimensi ibadah. Hamed (2003) menyatakan bahwa jika institusi Islami menggunakan akuntansi konvensional yang berbasis nilai sekuler kapitalistik maka akan timbul ketidaksesuaian antara praktek dan tujuan pencapaian sosial ekonomi syariah
Aplikasi akuntansi yang sejalan dengan prinsip syariah dan menjadi sarana aktivitas ibadah didasari oleh prinsip pokok ajaran Islam yang memandang bahwa seluruh aktivitas hidup hendaknya merupakan suatu ibadah (QS 6 :162 ; 51 :121). Dengan demikian pengembangan konsep dan penerapan akuntansi Islam adalah suatu kemestian dan kebutuhan kunci bagi kehidupan muslim yang paripurna. Relevansinya makin tinggi untuk negara dimana masyarakat muslim merupakan mayoritas. Lebih jauh, konsep ajaran Islam dimaksudkan menciptakan kesejahteraan bagi seluruh alam (QS 21 :127)
Menurut Haniffa (2002) dalam Harahap (2003), akuntansi Islam menghasilkan informasi sejauh mana entitas usaha mematuhi syariah dan memberi maslahat bagi masyarakat, memperhatikan aspek material, moral, dan spiritual serta menekankan keseimbangan diantara hal-hal tersebut, berdasarkan nilai-nilai Islam yang bersumber pada Al Quran dan Hadits Nabi yang shohih. Lebih lanjut Haniffa menyebutkan tiga dimensi (tujuan) yang perlu dihasilkan dari akuntansi Islam yaitu sejauh mana upaya entitas dalam: mencari ridha Allah, memberikan keuntungan (maslahat) bagi masyarakat, dan mencari kekayaan guna memenuhi kebutuhan. Ketiga hal ini tidak lain adalah perwujudan ibadah dalam Islam.
Harahap (2001) juga menyebutkan bahwa Akuntansi Islam bertujuan merealisasikan tujuan syariat, yaitu dengan menghasilkan informasi sekaligus pertanggungjawaban untuk merealisasikan tujuan syariat. Konsep yang sesuai tujuan maslahat dan pertanggungjawaban sosial tersebut adalah enterprise theory. Teori ini menjelaskan bahwa akuntansi harus melayani bukan saja pemilik perusahaan tetapi juga masyarakat umum.
Harahap (2008) selanjutnya merumuskan cakupan laporan AI yang bersifat triple bottom line yang mencakup (1) aspek kepatuhan pada syariat, (2) nilai kemaslahatan lingkungan social dan (3) aspek keuangan. Jika diperbandingkan, ketiga aspek ini bersesuaian dengan ketiga dimensi yang dikemukakan Haniffa di atas.
Harahap (2001) mengemukakan pemikiran Baydoun dan Willet (2000) mengenai bentuk laporan keuangan perusahaan menurut Akuntansi Islam. Bentuk laporan adalah Laporan Nilai Tambah sebagai ganti Laporan Rugi Laba konvensional. Laporan Nilai Tambah mengandung prinsip pertanggung-jawaban social. Laporan memberikan informasi diperolehnya laba bersih berupa nilai tambah dan bagaimana laba itu didistribusikan secara adil kepada pihak-pihak penyumbang terciptanya nilai tambah.Berikut adalah komponen laporan nilai tambah adalah sebagai berikut:
1. Neraca yang juga memuat informasi tentang karyawan dan akuntansi SDM,
2. Laporan Nilai Tambah sebagai pengganti Laporan R&L.
3. Laporan Arus Kas.
4. Laporan pertanggungjawaban social
5. Catatan yang berisi:
  • Pengungkapan secara lebih luas tentang laporan keuangan yang disajikan,
  • Laporan berbagai nilai dan kegiatan yang tidak sesuai syariat Islam, yang dapat dilengkapi dengan pernyataan dari Dewan Pengawas Syariah, dan
  • Informasi tentang efisiensi, good governance dan laporan produktivitas.
Haniffa (2001) dalam Harahap (2003) memerinci informasi yang dibutuhkan bagi akuntabilitas sebagai berikut:

1. Amanah : memproduksi barang dan jasa yang halal sesuai ketentuan Allah;
2. Memenuhi kewajiban kepada Allah dan manusia;
3. Mendapatkan laba sesuai syariah;
4. Mencapai tujuan perusahaan;
5. Adil kepada karyawan dan masyarakat;
6. Meyakinkan bahwa kegiatan perusahaan tidak merusak lingkungan;
7. Menganggap tugas berdimensi ibadah.

Sedangkan dalam konteks transparansi diperlukan informasi mengenai:

1. kegiatan yang halal dan haram;
2. kebijakan keuangan dan investasi;
3. Kebijakan kepegawaian;
4. hubungan perusahaan dan masyarakat
5. sumber dan perlindungan (konservasi) alam.

Penulis adalah Dosen STIE Syariah Bengkalis, Riau

Beberapa Pemikiran Teori Dan Konsep Akuntansi Islam

Oleh : Zakaria Batu Bara, MA

Gambling dan Karim (1986) yang dikutip oleh Harahap menarik hipotesis bahwa Islam memiliki syariah yang dipatuhi semua ummatnya maka wajarlah jika masyarakatnya memiliki lembaga keuangan dan akuntansinya yang sesuai dengan landasan agama. Mereka merumuskan model antara lain “Colonial Model”, yang menyebutkan bahwa jika masyarakatnya Islam maka seharusnya pemerintahnya pun menerapkan syariat Islam dan teori akuntansinya pun harus bersifat teori akuntansi Islami. Mereka juga menekankan bahwa sesuai sifatnya maka mestinya harus memiliki akuntansi karena pentingnya penekanan pada aspek sosial dan perlunya penerapan sistem zakat dan baitul mal dalam Islam.
Harahap (1991) mengemukakan bahwa akuntansi Islam itu pasti ada menggunakan metode perbandingan antara konsep syariat Islam yang relevan dengan akuntansi dan ciri akuntansi kontemporer (dalam nuansa komprehensif) itu sendiri. Sehingga ia menyimpulkan bahwa nilai-nilai Islam ada dalam akuntansi, dan akuntansi ada dalam struktur hukum, muamalat dan sejarah Islam. Menurutnya keduanya mengacu pada kebenaran kendatipun kadar kualitas dan dimensi serta bobot pertanggung jawabannya bisa berbeda. Dan juga penekanan pada aspek tanggung jawab dan aspek pengambilan keputusan berbeda. Islam mengayomi semua Stakeholder sedangkan akuntansi kapitalis memenuhi kepentingan pemilik modal dan idiologi kapitalis sekuler.
  1. Shaari Hamid, Russel Craig dan Frank Clarke yang dikutip Harahap mengemukakan dua hal : Islam sebagai agama yang memiliki aturan-aturan khusus dalam sistem ekonomi keuangan (misalnya , free interest banking system) dan pasti memerlukan teori akuntansi yang khusus pula yang dapat mengakomodasi ketentuan syariah itu.
  2. Kalau dalam berbagai studi disimpulkan bahwa aspek budaya yang bersifat lokal (national boundaries) sangat banyak mempengaruhi perkembangan akuntansi, maka Islam sebagai agama yang melampaui batas negara tidak boleh diabaikan. Islam dapat mendorong Internasionalisasi dan harmonisasi akuntansi.
Toshikabu Hayashi (1989) dalam Harahap mengatakan bahwa dalam akuntansi Islam ada “meta rule” yang berasal di luar konsep akuntansi yang harus dipatuhinya yaitu hukum syariah yang berasal dari Tuhan yang bukan ciptaan manusia. Menurut beliau akuntansi Islam sesuai dengan kecenderungan manusia yaitu hanief, yang menuntut agar perusahaan juga memilki etika dan tanggung jawab sosial. Dalam tulisannya Hayashi menjelaskan bahwa konsep akuntansi Islam sudah ada dalam sejarah Islam yang sangat berbeda dengan konsep akuntansi konvensional. Dia menunjukkan bahwa istilah “muhtasib” sebagai seseorang yang diberikan kekuasaan besar dalam masyarakat untuk memastikan sebagai “muhasabah”. Bahkan beliau menjelaskan bahwa dalam konsep Islam ada pertanggungjawaban di akhirat, di mana setiap orang akan mempertanggungjawabkan tindakannya di hadapan Tuhan.
Muhammad Akram Khan yang dikutip oleh Harahap merumuskan sifat akuntansi Islam sebagai berikut :
1) Penentuan Laba Rugi yang tepat.
2) Mempromosikan dan menilai efisiensi kepemimpinan.
3) Ketaatan kepada hukum syariah.
4) Keterikatan pada keadilan.
5 ) Melaporkan dengan baik.
6) Perubahan dalam praktik akuntansi.

Hameed mengemukakan dari pandangan makro tujuan akuntansi syariah adalah:
  1.  Merupakan dasar dalam perhitungan zakat.
  2. Memberikan dasar dalam pembagian keuntungan, distribusi kesejahtraan dan pengungkapan terhadap kejadian dan nilai-nilai.
  3. Untuk menyakinkan bahwa usaha yang dilakukan perusahaan bersifat Islami dan hasil (laba) yang diperoleh tidak merugikan masyarakat.

Triwiyono menyebutkan bahwa tujuan akuntansi syariah adalah terciptanya peradaban dengan wawasan humanis, transendental, dan teleologikal. Adapun ciri akuntansi syariah menurut beliau adalah :

1) Menggunakan nilai-nilai etika sebagai dasar penggunaan akuntansi.
2) Memberikan arah pada menstimulasi timbulnya prilaku etis.
3) Bersikap adil terhadap semua pihak.
4) Menyeimbangkan sifat egoistic dengan altruistic.
5) Mempunyai kepedulian terhadap lingkungan.

Menurut penulis pengembangan akuntansi Islam, nilai-nilai kebenaran, kejujuran dan keadilan harus diaktualisasikan dalam praktik akuntansi. Secara garis besar, bagaimana nilai-nilai kebenaran membentuk akuntansi syariah dapat diterangkan.
  1. Akuntan muslim harus meyakini bahwa Islam sebagai way of life (Q.S. 3 : 85).
  2.  Akuntan harus memiliki karakter yang baik, jujur, adil, dan dapat dipercaya (Q.S. An-Nisa : 135).
  3. Akuntan bertanggung jawab melaporkan semua transaksi yang terjadi (muamalah) dengan benar, jujur serta teliti, sesuai dengan syariah Islam (Q.S. Al-Baqarah : 7-8). 
  4. Dalam penilaian kekayaan (aset), dapat digunakan harga pasar atau harga pokok. Keakuratan penilaiannya harus dipersaksikan pihak yang kompeten dan independen (AI-Baqarah : 282).
  5. Standar akuntansi yang diterima umum dapat dilaksanakan sepanjang tidak bertentangan dengan syariah Islam.
  6. Transaksi yang tidak sesuai dengan ketentuan syariah, harus dihindari, sebab setiap aktivitas usaha harus dinilai halal-haramnya. Faktor ekonomi bukan alasan tunggal untuk menentukan berlangsungnya kegiatan usaha.
Akuntansi dan penyajian laporan keuangan pada bank syariah bertanggung jawab kepada Allah YME, stakeholders, dan lingkungan sosial berlandaskan kepada aspek transparansi, akuntabilitas dan keadilan. Sistem pencatatan dan pelaporan mengacu kepada Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia 2003 yang telah dipublikasikan oleh IAI dan Biro Perbankan Syariah BI.
Pada bank konvensional, akuntansi dan penyajian laporan keuangan berorientasi kepada kepentingan para pemegang saham, dan tidak dikenal konsep pertanggungjawaban sosial dan keadilan. Walaupun demikian, dalam satu dekade terakhir, ada kecenderungan akuntansi konvensional mengarah kepada konsep yang sejalan dengan Islam, seperti berkembangnya konsep akuntansi pertanggungjawaban, akuntansi sosial, akuntansi SDM, dan sebagainya.

Penulis adalah Dosen STIE Syariah Bengkalis